Semua
dimulai dari Stasiun Jebres, Solo.
Kami
naik kereta menuju Malang, membawa ransel penuh harapan, logistik secukupnya,
dan semangat yang lebih besar dari apa pun. Tak kami sangka, di dalam kereta
itu, kami bertemu dengan rombongan pendaki dari Jakarta. Tujuan kami sama:
Gunung Argopuro—salah satu trek terpanjang di Pulau Jawa, penuh mitos, sejarah,
dan tantangan.
Tanpa
banyak kata, kami merasa klik. Kami bergabung. Kini kami berdua belas, dan
perjalanan pun berubah: dari sekadar pendakian menjadi petualangan penuh warna
dan rasa.
Senja dan Kopi Hitam di Besuki
Turun
dari kereta, kami melanjutkan perjalanan ke Probolinggo, lalu menuju alun-alun
Besuki. Senja mulai turun perlahan, menyelimuti kota kecil itu dengan
ketenangan yang tak biasa. Alun-alun ramai dengan obrolan pelan dan aroma kopi
hitam khas Besuki—pahit, kental, tapi menghangatkan hingga ke hati. Tak
lengkap rasanya tanpa gorengan lokal yang renyah, sederhana tapi selalu membuat
lidah ingin kembali.
Dari
kejauhan, lantunan ayat suci dari Masjid Agung Besuki terdengar merdu.
Seolah menjadi pengantar malam yang religius dan damai. Para perempuan berhijab
melintas pelan, wajah mereka tenang, kota ini sederhana namun memiliki jiwa
yang begitu lembut.
Kami
tiba di basecamp Baderan sekitar pukul 9 malam. Letih, tapi bahagia.
Kami tidur dalam diam, membiarkan tubuh beristirahat, dan hati bersiap
menghadapi apa pun yang akan datang besok.
Langkah Pertama di Ladang Terbuka
Pagi
merekah dengan kicau burung, dan matahari menyibak kabut tipis. Jalur menuju Pos
Mata Air 1 menantang. Trek terbuka, tanpa naungan pohon, menanjak dengan
kemiringan yang cukup menggoda mental. Di kanan dan kiri, ladang terbentang dan
jurang menganga. Tapi di balik itu semua, ada keindahan yang membuatmu
berkali-kali lupa untuk mengeluh.
Savanna, Cikasur, dan Sungai Dingin
Hari
kedua kami menuju Cikasur, padang savana luas yang dulu merupakan area
markas tentara Jepang. Bekas landasan helipad dan bangunan tua masih bisa
ditemukan. Kami mandi di sungai jernih Cikasur, airnya dingin dan menyegarkan.
Rasanya seperti kembali menjadi anak-anak: tertawa, bercanda, tanpa memikirkan
apa pun.
Di
malam ketiga, kami membuka tenda di Cisentor. Hanya beberapa jam dari
sini ke puncak. Kami bertekad menjemput fajar dari titik tertinggi Argopuro.
Rengganis: Antara Mistis dan Keindahan
Jam
3 pagi, langkah kami menembus dinginnya udara. Puncak Rengganis jadi
tujuan pertama. Di sana, legenda hidup: tempat petilasan Dewi Rengganis,
selir Prabu Brawijaya VII. Kami melihat sisa persembahan: kulit kambing, tetesan
darah yang masih hangat. Sejenak sunyi menyergap, tapi kami merasa ini bagian
dari perjalanan—tentang rasa hormat terhadap sejarah dan kepercayaan.
Lalu
kami lanjut ke Puncak Argopuro. Angin berhembus kencang, reruntuhan
candi menyambut kami dalam diam. Tak ada kemegahan tersisa, hanya serpihan batu
yang seolah berkata: “Kalian sudah sampai.”
Menuju Danau Taman Hidup: Jalur Penuh
Ujian
Dari
Cisentor, kami turun ke Danau Taman Hidup. Ini bukan jalur biasa—ini
jalur ujian sesungguhnya. Butuh waktu 7–8 jam. Vegetasi makin rapat. Ilalang
setinggi dua meter menutup jalur. Beberapa kali kami terkena tumbuhan
"jancukan"—tanaman yang jika disentuh akan menyengat seperti listrik,
panas, gatal, dan tak hilang hingga belasan jam. Saya sendiri terkena, dan
rasanya tak bisa dilupakan.
Langit
gelap, dan belum ada tanda-tanda danau di depan mata. Kelelahan, rasa takut,
dan suara-suara dari balik semak membuat hati kami dicekam kegelisahan. Tapi
kami terus berjalan. Saling menyemangati, saling percaya.
Akhirnya,
pukul 09.00 malam, kami tiba di Danau Taman Hidup. Airnya tenang,
seperti hati kami yang akhirnya lepas dari ketegangan. Malam itu, nasi dan mie
instan terasa seperti hidangan surga. Kami makan lahap, lalu menatap langit,
dan tidur dengan rasa syukur yang membuncah.
Perpisahan yang Penuh Rasa
Pagi
menyapa kami dengan lembut. Kami bermain air di danau, tertawa seperti
anak-anak. Tak terasa, 7 hari telah kami lalui bersama: tidur satu
tenda, makan dari panci yang sama, tertawa di tengah lelah, dan diam di tengah
keheningan hutan.
Sebelum
turun, kami berfoto bersama. Menyimpan kenangan dalam bingkai, lalu mengucap
doa dalam hening. Kami merindukan rumah, masakan ibu, dan dunia di bawah. Tapi
hati kami tahu: kami takkan pernah pulang dalam keadaan yang sama.
Kami
telah berubah.
Kami
adalah bagian dari Argopuro, dan Argopuro akan selalu jadi bagian dari kami.
Catatan & Saran Pendakian Gunung
Argopuro:
- Bawa
perlengkapan dingin yang mumpuni. Suhu bisa mencapai
di bawah 5°C saat malam hari.
- Hindari
berjalan malam,
kecuali dalam keadaan darurat. Usahakan tiba di setiap pos sebelum senja.
- Gunakan
celana panjang dan sepatu, terutama di jalur Cisentor–Taman
Hidup, untuk menghindari tumbuhan "jancukan" (Girardinta
palmate).
- Bawa
senter dan headlamp yang cukup terang. Track panjang
dan hutan rapat bisa sangat gelap bahkan sebelum malam tiba.
- Kenakan
pakaian lengan panjang berkerah untuk perlindungan dari sengatan
matahari, duri, dan serangga.
- Fokus
pada jalur utama. Banyak percabangan dan pohon
tumbang di jalur ini, pastikan tidak tersesat.
- Berjalanlah
bersama.
Jangan tinggalkan siapa pun di belakang. Pendakian ini bukan lomba—ia
adalah perjalanan untuk menemukan dan menguatkan diri.