DjoeRinjani Indosat 085647 55 2287 WA
Djoko Sulistyo CONTACT PERSON : Indosat 085647 55 2287 / PIN BB : 2252BEF7

djoe

djoe
indahnya di puncak merapi

Kamis, 10 Juli 2025

"Tujuh Hari Menyusuri Argopuro: Ketika Hutan, Dingin, dan Persaudaraan Menjadi Satu"

 



Semua dimulai dari Stasiun Jebres, Solo.

Kami naik kereta menuju Malang, membawa ransel penuh harapan, logistik secukupnya, dan semangat yang lebih besar dari apa pun. Tak kami sangka, di dalam kereta itu, kami bertemu dengan rombongan pendaki dari Jakarta. Tujuan kami sama: Gunung Argopuro—salah satu trek terpanjang di Pulau Jawa, penuh mitos, sejarah, dan tantangan.

Tanpa banyak kata, kami merasa klik. Kami bergabung. Kini kami berdua belas, dan perjalanan pun berubah: dari sekadar pendakian menjadi petualangan penuh warna dan rasa.

Senja dan Kopi Hitam di Besuki

Turun dari kereta, kami melanjutkan perjalanan ke Probolinggo, lalu menuju alun-alun Besuki. Senja mulai turun perlahan, menyelimuti kota kecil itu dengan ketenangan yang tak biasa. Alun-alun ramai dengan obrolan pelan dan aroma kopi hitam khas Besuki—pahit, kental, tapi menghangatkan hingga ke hati. Tak lengkap rasanya tanpa gorengan lokal yang renyah, sederhana tapi selalu membuat lidah ingin kembali.

Dari kejauhan, lantunan ayat suci dari Masjid Agung Besuki terdengar merdu. Seolah menjadi pengantar malam yang religius dan damai. Para perempuan berhijab melintas pelan, wajah mereka tenang, kota ini sederhana namun memiliki jiwa yang begitu lembut.

Kami tiba di basecamp Baderan sekitar pukul 9 malam. Letih, tapi bahagia. Kami tidur dalam diam, membiarkan tubuh beristirahat, dan hati bersiap menghadapi apa pun yang akan datang besok.


Langkah Pertama di Ladang Terbuka

Pagi merekah dengan kicau burung, dan matahari menyibak kabut tipis. Jalur menuju Pos Mata Air 1 menantang. Trek terbuka, tanpa naungan pohon, menanjak dengan kemiringan yang cukup menggoda mental. Di kanan dan kiri, ladang terbentang dan jurang menganga. Tapi di balik itu semua, ada keindahan yang membuatmu berkali-kali lupa untuk mengeluh.




Kami tiba di Pos Mata Air 1 saat matahari hampir tenggelam. Langit berwarna jingga, dan masakan sederhana kami—nasi hangat dan sayur instan—tiba-tiba terasa seperti hidangan istimewa. Setelah makan dan sholat di bawah langit berbintang, malam itu kami tertidur pulas dalam kelelahan yang jujur.

Savanna, Cikasur, dan Sungai Dingin

Hari kedua kami menuju Cikasur, padang savana luas yang dulu merupakan area markas tentara Jepang. Bekas landasan helipad dan bangunan tua masih bisa ditemukan. Kami mandi di sungai jernih Cikasur, airnya dingin dan menyegarkan. Rasanya seperti kembali menjadi anak-anak: tertawa, bercanda, tanpa memikirkan apa pun.

Di malam ketiga, kami membuka tenda di Cisentor. Hanya beberapa jam dari sini ke puncak. Kami bertekad menjemput fajar dari titik tertinggi Argopuro.


Rengganis: Antara Mistis dan Keindahan

Jam 3 pagi, langkah kami menembus dinginnya udara. Puncak Rengganis jadi tujuan pertama. Di sana, legenda hidup: tempat petilasan Dewi Rengganis, selir Prabu Brawijaya VII. Kami melihat sisa persembahan: kulit kambing, tetesan darah yang masih hangat. Sejenak sunyi menyergap, tapi kami merasa ini bagian dari perjalanan—tentang rasa hormat terhadap sejarah dan kepercayaan.

Lalu kami lanjut ke Puncak Argopuro. Angin berhembus kencang, reruntuhan candi menyambut kami dalam diam. Tak ada kemegahan tersisa, hanya serpihan batu yang seolah berkata: “Kalian sudah sampai.”


Menuju Danau Taman Hidup: Jalur Penuh Ujian

Dari Cisentor, kami turun ke Danau Taman Hidup. Ini bukan jalur biasa—ini jalur ujian sesungguhnya. Butuh waktu 7–8 jam. Vegetasi makin rapat. Ilalang setinggi dua meter menutup jalur. Beberapa kali kami terkena tumbuhan "jancukan"—tanaman yang jika disentuh akan menyengat seperti listrik, panas, gatal, dan tak hilang hingga belasan jam. Saya sendiri terkena, dan rasanya tak bisa dilupakan.

Langit gelap, dan belum ada tanda-tanda danau di depan mata. Kelelahan, rasa takut, dan suara-suara dari balik semak membuat hati kami dicekam kegelisahan. Tapi kami terus berjalan. Saling menyemangati, saling percaya.

Akhirnya, pukul 09.00 malam, kami tiba di Danau Taman Hidup. Airnya tenang, seperti hati kami yang akhirnya lepas dari ketegangan. Malam itu, nasi dan mie instan terasa seperti hidangan surga. Kami makan lahap, lalu menatap langit, dan tidur dengan rasa syukur yang membuncah.



Perpisahan yang Penuh Rasa

Pagi menyapa kami dengan lembut. Kami bermain air di danau, tertawa seperti anak-anak. Tak terasa, 7 hari telah kami lalui bersama: tidur satu tenda, makan dari panci yang sama, tertawa di tengah lelah, dan diam di tengah keheningan hutan.

Sebelum turun, kami berfoto bersama. Menyimpan kenangan dalam bingkai, lalu mengucap doa dalam hening. Kami merindukan rumah, masakan ibu, dan dunia di bawah. Tapi hati kami tahu: kami takkan pernah pulang dalam keadaan yang sama.

Kami telah berubah.

Kami adalah bagian dari Argopuro, dan Argopuro akan selalu jadi bagian dari kami.

Catatan & Saran Pendakian Gunung Argopuro:

  • Bawa perlengkapan dingin yang mumpuni. Suhu bisa mencapai di bawah 5°C saat malam hari.
  • Hindari berjalan malam, kecuali dalam keadaan darurat. Usahakan tiba di setiap pos sebelum senja.
  • Gunakan celana panjang dan sepatu, terutama di jalur Cisentor–Taman Hidup, untuk menghindari tumbuhan "jancukan" (Girardinta palmate).
  • Bawa senter dan headlamp yang cukup terang. Track panjang dan hutan rapat bisa sangat gelap bahkan sebelum malam tiba.
  • Kenakan pakaian lengan panjang berkerah untuk perlindungan dari sengatan matahari, duri, dan serangga.
  • Fokus pada jalur utama. Banyak percabangan dan pohon tumbang di jalur ini, pastikan tidak tersesat.
  • Berjalanlah bersama. Jangan tinggalkan siapa pun di belakang. Pendakian ini bukan lomba—ia adalah perjalanan untuk menemukan dan menguatkan diri.

0 komentar:

Posting Komentar